Sabtu, 06 Februari 2010

Senyum Sang Kakek

      Hari itu memang cukup melelahkan untukku. Ibuku pergi bersama adiku untuk menjenguk ayah yang bekerja di luar kota. Terpaksa semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakan. Setelah selesai merapikan dan membersihkan rumah, kemudian aku lanjutkan untuk mencuci pakaian. Pagi itu rasanya terlalu cera, sengatan panas matahari serasa menusuk-nusuk kulit kepalaku, tapi apa boleh buat semua pekerjaan harus selesai ku kerjakan saat itu juga.
      "Alhamdulillah, cucianku telah bersih kini tinggal ku jemur" ucapku. Pagi itu rasanya terlalu cerah, sengatan panas matahari serasa menusuk-nusuk kulit kepalaku, tapi apa boleh buat semua pekerjaan harus selesai ku kerjakan saat itu juga. ku jemur pakaian ku satu persatu, keringat mengucur deras. ingin rasanya cepat menyelesaikan pekerjaan yang lain dan beristirahat. Tiba-tiba kakeku memanggilku, "Ya, ada nasi yang ga dimakan?". Aku sudah tahu maksudnya, karena sudah biasa aku memberikan sisa nasi untuk makan ayam-ayam kakek. "ya ada kek, sebentar aku ambilkan". Entahlah perasaanku saat itu sangat jengkel, mungkin karena kesibukanku terganggu. Tapi aku berusaha menahan ekspresi jengkelku kepada kakek. Ku berikan sisa nasi itu kepada kakek, lalu dia mengambilnya, belum langkahku terhenti aku disuruhnya kembali untuk mengambil wadah nasinya. aku pun dengan spontan kembali menghampiri kakek untuk mengambil wadah nasi itu, hanya saja ekspresi kekesalanku sudah tak dapat aku sembunyikan lagi. Kakek melihatku, aneh biasanya kakek akan marah jika cucunya bersikap seperti itu tapi kini ia hanya tersenyum meski wajahku tetap cemberut sinis. Selesailah aku menjemur pakaian, teringat kejadian tadi aku menyesal telah berbuat tidak sopan pada kakek. "Astagfirullah" , ucapku dalam hati.
     Tiga hari kemudian aku mengikuti acara LKM di kampus, ketika sedang mendengarkan penyajian materi dari dosen. tiba-tiba tetanggaku menelponku. Tak biasanya pikirku, ku acuhkan saja telpon dari mereka. Handphoneku bergetar lagi, ku lihat ada pesan singkat dari tetanggaku, isinya menyuruhku untuk cepat pulang. Deg!!! hatiku sedikit was-was, ada apa pikirku semakin bertanya-tanya. Ku balas pesan itu "ada apa, aku sedang ada kegiatan di kampus". Hp ku bergetar lagi, balasan dari tetanggaku isinya : kakekmu meninggal, pulanglah agar kamu bisa melihatnya dulu sebelum beliau dikuburkan. Seketika air mataku tak tertahan lagi, semua penyesalan kian menggores perih di hati.
     Ingin ku putar waktu, dan membalas senyum terakhirnya padaku. teringat semua tentang kakek, ketika ia datang ke rumah untuk meminta sisa nasi, gula, teh, atau hanya ingin melihat keadaanku. Tapi aku acuhkan ia, yang lebih membuatku sedih adalah ketika ia bersandar di depan pintu untuk memulihkan tenaganya setelah berjalan ke rumahku, aku malah membuka pintu itu dengan keras hingga ia kaget dan hampir terjatuh. Meskipun aku tidak tahu ada kakek disitu, tapi aku sangat merasa bersalah, aku tak sanggup melihat ekspresinya yang tetap memberiku senyuman.
     Aku rindu kakek, aku ingin memegang tangannya, menuntunnya, membantunya berjalan ketika ia ke rumahku. Aku ingin membalas senyuman kakek. Tak akan ku biarkan senyuman itu menggores perih sedalam ini, inikah yang kakek rasa ketika aku tak membalas senyummu.Takan pernah ku ulangi lagi, ini pelajaran berharga untukku kek. Kini kurasakan betapa mahalnya kesempatan jika semua telah berlalu.